Senin, Maret 23, 2009
Paruman (musyawarah) Majelis Madya Desa Pakraman Denpasar memutuskan untuk meniadakan pembuatan ogoh-ogoh baik dalam skala kecil maupun besar, pada perayaan Nyepi Tahun Baru Caka 1931, 26 Maret mendatang.
Ketua Majelis Madya Desa Pekraman Denpasar I Made Karim, beberapa waktu lalu mengatakan, paruman sudah dilaksanakan akhir Januari lalu di Peguyangan Kangin, Denpasar Utara. Intinya, kata dia, para bendesa pakraman yang merupakan pimpinan desa pakraman menyepakati ditiadakannya ogoh-ogoh untuk menjaga ketertiban pelaksanaan tapa brata penyepian yang waktunya berimpitan dengan pesta demokrasi.
“Bukannya kami membatasi kreativitas anak muda untuk membuat ogoh-ogoh. Tapi ini demi kepentingan yang lebih besar, utamanya untuk mengeliminir kemungkinan pelanggaran ketertiban masyarakat yang menyebabkan terganggungnya esensi perayaan Nyepi,” urai Karim, yang ditemui di Kantor Walikota Denpasar.
Diakui bahwa pada malam pengerupukan seringkali terjadi aksi mabuk-mabukan. Pihaknya mengkhawatirkan dampak negative itu akan meluas, terlebih semakin dekatnya dengan hari pemilihan, 9 April.
Sudah dipastikan, kata dia, “Nuansa politik akan kian memanas dengan semakin dekatnya waktu pemilihan. Jangan sampai, perayaan keagamaan nantinya justru ternodai oleh persoalan politik.”
Dijelaskan Karim, pada setiap perayaan Nyepi, umat Hindu di Bali selama 24 jam dianjurkan melaksanakan tapa brata penyepian yang mana tidak diperkenankan bepergian (amati lelungan), bekerja (amati karya), dan tanpa menyalakan lampu (amati geni). Pada malam menjelang pelaksanaan Nyepi atau yang disebut Pengerupukan, biasanya dilakukan upacara Tawur Kesanga, dilanjutkan dengan pawai dan pembakaran ogoh-ogoh (patung raksasa) sebagai perlambang keburukan atau kejahatan.
Menurut Karim, selama ini antar sekaa teruna (organisasi kepemudaan di tiap banjar) di Denpasar seolah berlomba mengkreasi ogoh-ogoh, baik dari sisi wujud, bahan, hingga ukuran. “Ini merupakan ajang kreasi yang tak ternilai dan spontan dari masyarakat. Termasuk biaya, yang rata-rata menghabiskan jutaan rupiah untuk setiap ogoh-ogoh, juga terkumpul secara swadaya.”
Selain itu, lanjut Karim momen pawai ogoh-ogoh selalu menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Katanya, “Untuk itu kami mohon maaf, bila tahun ini di Denpasar meniadakan momen berkesan tersebut.”
Selebihnya Karim berujar, untuk pelaksanaan pengerupukan di masing-masing rumah tangga tetap berlangsung seperti biasa, menyesuaikan adat dan kebiasaan desa pakeraman setempat.
Bila nantinya ditemukan sekelompok warga tetap membuat ogoh-ogoh, dikatakan Karim menjadi tanggung jawab Bendesa adat setempat untuk menindaknya. Toh, pihaknya juga sudah melakukan sosialisasi hasil paruman kepada seluruh sekaa teruma melalui para kelian banjar.
Menindaklanjuti hal itu, kata Kabag Humas dan Protokol Kota Denpasar I Made Erwin Suryadarma, walikota sangat mendukung. Bahkan, Pemkot juga sudah membuat surat edaran berisi hasil paruman tersebut ke seluruh Kepala Desa dan Lurah se-Denpasar. [b]
Label: Religi